Kue cubit, siapa yang tak kenal jajanan mungil satu ini? Bentuknya kecil, teksturnya lembut, dan cita rasanya manis dengan sentuhan nostalgia masa kecil. Dahulu, kue cubit identik dengan jajanan kaki lima di depan sekolah atau pasar tradisional. Namun kini, jajanan sederhana ini telah berevolusi menjadi hidangan kekinian yang bisa ditemukan di kafe-kafe bergaya modern dengan beragam varian topping menarik. Perjalanan panjang kue cubit dari jalanan hingga ke dunia kuliner modern tentu menarik untuk disimak.
Asal-Usul dan Sejarah Singkat Kue Cubit
Kue cubit berasal dari pengaruh Belanda, terutama rajazeus dari pancake kecil yang dikenal dengan nama poffertjes. Seiring waktu, masyarakat Indonesia mengadaptasinya dengan bahan-bahan yang lebih sederhana dan harga yang lebih terjangkau. Nama “kue cubit” sendiri berasal dari cara mengambil kue dari cetakan menggunakan alat penjepit kecil, seperti mencubit.
Di masa lalu, kue cubit sangat populer di kalangan anak-anak sekolah. Pedagang kaki lima biasanya berjualan di depan SD atau di pasar, dengan cetakan loyang kecil yang diletakkan di atas kompor minyak tanah atau arang. Adonan kue dibuat dari campuran telur, gula, tepung terigu, dan sedikit baking powder, lalu dituangkan ke cetakan berbentuk bulat atau hati. Setelah setengah matang, biasanya kue cubit diberi topping meses coklat atau keju parut.
BACA JUGA: Es Krim dan Dessert: Waspada Gelatin & Alkohol
Transformasi Menjadi Jajanan Kekinian
Memasuki era media sosial dan tren kuliner modern, kue cubit mengalami transformasi besar-besaran. Para pelaku bisnis kuliner melihat potensi nostalgia yang besar dari kue ini, lalu mengemasnya kembali dengan tampilan dan rasa yang lebih menarik. Beberapa inovasi yang muncul antara lain:
-
Topping variatif: Mulai dari Oreo, KitKat, Nutella, matcha, hingga marshmallow.
-
Varian rasa: Tak hanya original, kini hadir rasa green tea, red velvet, taro, hingga kopi.
-
Kemasan estetik: Disajikan dalam box cantik atau piring estetik dengan tambahan es krim, saus coklat, dan taburan sereal.
-
Tekstur setengah matang (half-cooked): Tren kue cubit setengah matang menjadi favorit karena sensasi lumer di mulut.
Dengan tampilan dan rasa yang semakin bervariasi, kue cubit berhasil menarik perhatian anak muda dan penggemar kuliner kekinian. Banyak café, khususnya di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, menjadikan kue cubit sebagai salah satu menu andalan mereka.
Daya Tarik yang Tak Pernah Padam
Kelezatan kue cubit tak hanya terletak pada rasanya yang manis dan lembut, tapi juga pada nilai emosionalnya. Banyak orang mengenang kue cubit sebagai bagian dari masa kecil mereka—sebuah comfort food yang mengingatkan pada waktu istirahat sekolah, jajan seru dengan teman, atau kebahagiaan sederhana menikmati camilan hangat dari pedagang langganan.
Ketika kue cubit hadir di café-café modern, ia membawa serta kenangan itu ke dalam suasana yang baru. Kue cubit menjadi simbol perpaduan antara masa lalu dan masa kini, antara jajanan rakyat dan tren kuliner urban.
Peluang Bisnis yang Menggiurkan
Evolusi kue cubit juga membuka peluang bisnis yang cukup besar, terutama di bidang UMKM dan industri makanan ringan. Modal yang dibutuhkan untuk membuat kue cubit relatif kecil, dan proses pembuatannya pun sederhana. Banyak wirausaha muda mulai membuka usaha kue cubit kekinian dengan konsep booth di pusat perbelanjaan, stand kaki lima modern, bahkan franchise.
Untuk meningkatkan nilai jual, mereka menambahkan branding, kemasan menarik, serta promosi di media sosial. Strategi ini terbukti berhasil, karena kue cubit bukan hanya laris di pasaran, tapi juga menjadi objek foto yang sangat Instagramable.
Menjaga Tradisi Lewat Inovasi
Meski telah bertransformasi, inti dari kue cubit tetap sama—kue mungil yang dibuat dengan cinta dan kehangatan. Menariknya, beberapa pelaku bisnis tetap mempertahankan resep klasik sebagai bagian dari menu mereka, agar pelanggan bisa memilih antara rasa nostalgia dan rasa kekinian. Hal ini menjadi bentuk pelestarian budaya kuliner yang cerdas dan relevan di era modern.